Saat kita bertanya kepada kawan atau kerabat “Mengapa menyusui?” mungkin jawaban singkat akan kita dapat, yaitu “Karena ini sudah menjadi tradisi”. Tradisi memang sebuah produk dari kehidupan, interaksi antara manusia menghasilkan satu gagasan bersama yang membuahkan paradigma plural, itulah realitas kehidupan. Intuisi lahir sebagai landasan pokok pengetahuan baik dan buruknya realitas kehidupan dan alam semesta. Ini terlahir karena usaha manusia untuk memahaminya. Meskipun pada akhirnya manusia hanya mengira-ngira tanpa memahami mengapa harus memberikan ASI bukan makanan lain, misalnya. Permasalahannya akan pelik apabila manusia melakukan satu tradisi tanpa mengetahui alasan dibalik itu sehingga diperlukan sebuah kajian filosofis mengenai pentingnya menyusui.
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
ASI atau Air Susu Ibu merupakan fenomena alami yang luar biasa. Saat jabang bayi dilahirkan ASI-lah makanan awal yang diberikan sebagai penopang kebutuhan energi manusia untuk dapat bertahan hidup. Menyusui merupakan kegiatan turun-temurun antar generasi. Seorang ibu punya kewajiban untuk menyusui bayinya. Tetapi kenapa harus menyusui? Kenapa keluar air dari payudara perempuan? Apa yang membuat ASI keluar dari payudara ibu?.
Sebagai mahluk yang berfikir, merasa dan mengindra, manusia memang diproyeksikan untuk mencari tahu, meskipun harus dimulai dari keragu-raguan bahkan mitos, karena toh tidak ada kebenaran yang mutlak. Semua apa yang dialami, dilihat, dicium, dirasa adalah media untuk mencari tahu ada apa di balik semua itu. Rasa ingin tahu inilah yang mengantarkan manusia untuk berfikir kritis empiris.
Selain itu manusia selalu harus mengembangkan apa yang diketahuinya, untuk mengatasi kebutuhan hidupnya, tidak hanya tahu seorang ibu harus menyusui, tetapi kebutuhan kepada menyusui. Karena pada hakekatnya manusia itu bukan hanya sekedar hidup, tapi mempunyai tujuan yang harus digapai. Ini sebenarnya keunikan manusia dari makhluk lainnya. Dengan bermodalkan bahasa sebagai alat komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya. Karena tidak ada hewan yang mengeluh “ASI saya kurang?” “Kenapa saya tidak bisa menyusui?” atau bertanya “Bagaimana biar ASI saya banyak?”. Dari transformasi informasi antar manusia inilah timbul akumulasi ide, sehingga memantapkan pengetahuannya untuk mengembangkan pengetahuan dan kehidupannya. Dan meyakini bahwa apa yang selama ini dilakukan itu satu kebenaran.
Peradaban manusia dari tahun ke tahun, dari abad ke abad selalu berubah, begitu juga pengetahuan, lahir dan berkembang terus menerus, kendatipun ilmu didasarkan pada kerangka objektif, rasional, sistematis, logis dan empiris, dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Agust Comte merumuskan ada tiga jaman dalam perkembangan pengetahuan manusia yaitu teologis, metafisis dan positif. Pada jaman teologis diyakini adanya kuasa-kuasa supernatural atau adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi semua gejala alam ini. Keluarnya ASI adalah manifestasi kekuatan “luar biasa” diatas kekuatan insani yang kemudian pada jaman metafisis kuasa adikodrati itu mulai digantikan dengan konsep-konsep abstrak seperti halnya kodrat dan penyebab. Sampai pada jaman positif manusia telah mulai membatasi diri dengan fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan kausalitas.
Semua ini timbul karena keingintahuan manusia menyikap tabir alam semesta, disinilah filsafat berperan membuka tabir realitas alam semesta. Tetapi kita selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan pelik atas apa yang kita ketahui, yaitu : “Apa hakekat pengetahuan itu?”, “Bagaimana kita tahu bahwa apa yang kita anggap pengetahuan itu adalah pengetahuan?” dan “Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa apa yang kita anggap sebagai pengetahuan itu benar-benar pengetahuan?”. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita yang akan menentukan sikap dan perilaku kita.
Tapi, Sayangnya diantara kita masih acuh, dan menerima begitu begitu saja tanpa pernah mengkritisi hakikat dari apa yang telah dilakukan, ini terjadi karena beranggapan bahwa lakukan saja karena orang-orang sebelum kita pun melakukan hal itu. Meskipun kadang mereka tidak punya landasan atau alasan kuat kenapa melakukan sesuatu.
PENGETAHUAN DAN BUDAYA
Interaksi manusia dengan alam menjadikan alam sebagai guru, berbagai fenomena alam yang dahsyat mendorong manusia untuk berfikir dan mencari tahu apa di belakang misteri alam semesta itu. Timbullah mitos-mitos tentang alam semesta, misalkan terjadinya gempa bumi disebabkan oleh karena dewa bumi murka kepada penduduk bumi. Selanjutnya pada periode filsafat Yunani yang membawa perubahan yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia yaitu perubahan orientasi pemikiran dari mitosentrik ke logosentrik. Manusia yang pada mulanya pasif berubah menjadi proaktif dan kreatif. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang ahirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari proses, ilmu pengetahuan bukanlah satu yang instant tumbuh begitu saja, tetapi melalui tahapan-tahapan yang panjang dan evolusi ilmu yang terus-menerus. Maka perkembangan ilmu pengetahuan di satu sisi telah mengalami percepatan (akselerasi) akibat perkembangan teknologi, di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar ilmu serta karakter ilmu tersebut.
Menurut E.B Taylor tahun 1871, dalam bukunya Primitive Culture, bahwa pengetahuan adalah bagian dari budaya, dia mendefinisikan budaya sebagai semua apa yang diketahui, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Maka tidaklah heran kalau ada anggapan bahwa “saya menyusui karena sudah tradisi”.
Manusia dalam hidup memiliki banyak kebutuhan, makan, minum, pakaian, dan lainnya. Kebutuhan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini Ashley Montagu berpendapat bahwa, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Tetapi manusia berbeda dengan hewan, maka cara memenuhi kebutuhannya pun berbeda yaitu dengan selalu memperhatikan aspek-aspek moralitas. Manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan insting dan oleh sebab itu dia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan cara hidup. Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif ini diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai obyek-obyek yang bersifat fisik.
Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan yang kongkret dari nilai-nilai budaya yang bersifat abstrak, kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindra sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia. Selain itu manusia membutuhkan sarana kebudayaan ini pada dasarnya merupakan perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
No comments:
Post a Comment